Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bidah (2)
KESEMPURNAAN ISLAM DAN BAHAYA BID’AH
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
BEBERAPA PERTANYAAN DAN JAWABANNYA
Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya : Bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khatab Radhiyallahu ‘Anhu setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan para jama’ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata : “inilah sebaik-baik bid’ah …. dst”.
Jawabnya.
Pertama : Bahwa tak seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Karena Allah Ta’ala berfirman :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih“. [An-Nuur/24:63].
Imam Ahmad bin Hambal berkata : “Tahukah anda, apakah yang dimaksud dengan fitnah ?. Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan binasa”.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Hampir saja kalian dilempar batu dari atas langit. Kukatakan : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar”.
Kedua : Kita yakin kalau Umar Radhiyallahu ‘anhu termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Beliaupun terkenal sebagai orang yang berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah perempuan yang berani menyanggah pernyataan beliau tentang pembatasan mahar (maskawin) dengan firman Allah, yang artinya : ” … sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak …” [1] bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan mahar.
Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang keshahihahnya, tetapi dimaksudkan dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya.
Oleh karena itu, tak patut bila Umar Radhiyallahu ‘anhu menentang sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu bid’ah : “Inilah sebaik-baik bid’ah”, padahal bid’ah tersebut termasuk dalam kategori sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah adalah kesesatan”.
Akan tetapi bid’ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai bid’ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Maksudnya : adalah mengumpulkan orang-orang yang mau melaksanakan shalat sunat pada malam bulan Ramadhan dengan satu imam, di mana sebelumnya mereka melakukannya sendiri-sendiri.
Sedangkan shalat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qiyamul lail (bersama para sahabat) tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannnya pada malam keempat, dan bersabda :
((إِنِي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا))
“Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedanghkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya“. [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim].
Jadi qiyamul lail (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan berjamaah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun disebut bid’ah oleh Umar Radhiyallahu anhu dengan pertimbangan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada malam keempat, ada di antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang melakukannya secara berjama’ah dengan orang banyak. Akhirnya Amirul Mu’minin Umar Radhiyallahu ‘anhu dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid’ah, bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu. Akan tetapi sebenarnya bukanlah bid’ah, karena pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi ahli bid’ah untuk menyatakan perbuatan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah.
Mungkin juga di antara pembaca ada yang bertanya : Ada hal-hal yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam, seperti; adanya sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti ini dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal kebaikan. Lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum Muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah adalah kesesatan ?“.
Jawabnya : Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid’ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaedah : “Sarana dihukumi menurut tujuannya”. Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan ; sarana untuk perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan ; sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu, suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat.
Firman Allah Ta’ala.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan“. [Al-An’aam/6:108].
Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang yang musyrik adalah perbuatan hak dan pada tempatnya. Sebaliknya, mejelek-jelekan Rabbul ‘Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya. Namun, karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan orang-orang musyrik menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan tersebut dilarang.
Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana dihukumi menurut tujuannya. Adanya sekolah-sekolah, karya ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya walaupun hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana. Sedangkan sarana dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seseorang membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila bertujuan untuk pengajaran ilmu syar’i, maka pembangunannya adalah diperintahkan.
Jika ada pula yang mempertanyakan : Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
((مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَم سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ))
“Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..”.
“Sanna” di sini artinya : membuat atau mengadakan.
Jawabnya : Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula : “Setiap bid’ah adalah kesesatan”. yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala atau sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan : “Man sanna fil Islaam”, yang artinya : “Barangsiapa berbuat dalam Islam”, sedangkan bid’ah tidak termasuk dalam Islam ; kemudian menyatkan : “sunnah hasanah”, berarti : “Sunnah yang baik”, sedangkan bid’ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid’ah.
Jawaban lainnya, bahwa kata-kata “Man Sanna” bisa diartikan pula : “Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah”, yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata “sanna” tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.
Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda.
((مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَم سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ))
” Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..”.
Dari sini, dapat dipahami bahwa arti “sanna” ialah : melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau : “Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanan”, yaitu : “Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik”, bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda beliau : “Kullu bid’atin dhalaalah”.
SYARAT YANG HARUS DIPENUHI DALAM IBADAH
Perlu diketahui bahwa mutaba’ah (mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam enam perkara.
Pertama. Sebab.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh : Ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini -yaitu : ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam sebab – adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid’ah.
Kedua. Jenis.
Artinya : ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh : Seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.
Ketiga. Kadar (Bilangan).
Kalau seseorang yang menambah bilangan raka’at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
Keempat. Kaifiyah (Cara).
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhunya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari’at.
Kelima. Waktu.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah, maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.
Saya pernah mendengar bahwa ada orang bertaqarrub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid’ah, karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai kurban, denda haji dan akikah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i’tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam Idul Adha adalah bid’ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.
Keenam. Tempat.
Andaikata ada orang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i’tikafnya. Sebab tempat i’tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri’tikaf di dalam mushalla di rumahnya, maka tidak sah i’tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syari’at, Contoh lainnya : Seseorang yang melakukan thawaf di luar Masjid Haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, tahawafnya tidak sah, karena tempat melakukan thawaf adalah dalam Baitullah tersebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ
“Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf“. [Al-Hajj : 26].
Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwa ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh kecuali apabila memenuhi dua syarat, yaitu :
Pertama. Ikhlas
Kedua. Mutaba’ah.
Dan Mutaba’ah tidak akan tercapai kecuali dengan enam perkara yang telah diuraikan tadi.
PENUTUP
Penulis berpesan kepada mereka yang terjerat dalam cobaan bid’ah, yang kemungkinan mempunyai tujuan baik dan menghendaki kebaikan, apabila anda memang menghendaki kebaikan maka -demi Allah- tidak ada jalan yang lebih baik daripada jalan para Salaf (generasi pendahulu) Radhiyallahu ‘anhum.
Pegang teguhlah sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ikutilah jejak para salaf shaleh, dan perhatikanlah apakah hal itu akan merugikan anda .?
Dan kami katakan, dengan sesungguhnya, bahwa anda akan mendapatkan kebanyakan orang yang suka mengerjakan bid’ah merasa enggan dan malas untuk mengerjakan hal-hal yang sudah jelas diperintahkan dan disunnahkan. Jika mereka selesai melakukan bid’ah, tentu mereka menghadapi sunnah yang telah ditetapkan dengan rasa engggan dan malas. Itu semua merupakan dampak dari bid’ah terhadap hati.
Bid’ah, besar dampaknya terhadap hati dan amat berbahaya bagi agama. Tidak ada suatu kaum melakukan bid’ah dalam agama Allah melainkan mereka telah pula menghilangkan dari sunnah yang setara dengannya atau melebihinya, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh seorang ulama salaf.
Akan tetapi apabila seseorang merasa bahwa dirinya adalah pengikut dan bukan pembuat syari’at, maka akan tercapai olehnya kesempurnaan takut, tunduk, patuh dan ibadah kepada Rabbul ‘alamien serta kesempurnaan ittiba’ (keikutsertaan) kepada Imamul Muttaqin, Sayyidul Mursalin, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penulis berpesan kepada saudara-saudara kaum Muslimin yang menganggap baik sebagian dari bid’ah, baik yang berkenan dengan dzat, asma’ dan sifat Allah, atau yang berkenan dengan pribadi dan pengagungan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaklah mereka takut kepada Allah dan menghindari hal-hal semacam itu. Beramalllah dengan didasari ikhlas dan sunnah, bukan syirik dan bid’ah ; menurut apa yang diridhai Allah, bukan apa yang disenangi syaitan. Dan hendaklah mereka memperhatikan apakah yang dapat dicapai oleh hati mereka, berupa keselamatan, kehidupan, ketenangan, kebahagian dan nur yang agung.
Semoga Allah menjadikan kita sebagai penunjuk jalan yang mendapat petunjuk-Nya dan pemimpin yang membawa kebaikan, memerangi hati kita dengan iman dan ilmu, menjadikan ilmu yang kita miliki membawa berkah dan bukan bencana. Serta semoga Allah membimbing kita kepada jalan para hamba-Nya yang beriman, menjadikan kita termasuk para auliya-Nya yang bertakwa dan golongan-Nya yang beruntung.
Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi Kita, Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.
[Disalin dari buku Al-Ibdaa’ fi Kamaalis Syar’i wa Khatharil Ibtidaa’, edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid’ah, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, penerbit Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor – Jabar]
_______
Footnote
[1]. Surah An-Nisa : 20
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3237-kesempurnaan-islam-dan-bahaya-bidah-2.html